Thursday, July 19, 2007

The Lucky seven

Uhmmm.....rezki ayam nampak dikaki...
Rezki manusia?


Scholarship offered to `Seven’

BANGKOK: A baby girl born on July 7, 2007 — 07/07/07 — in the back of a Thai taxi bearing the licence plate 7777 is to receive a scholarship worth 700,000 baht (RM71,100), a college said yesterday.

The girl, who has not yet been named but received the nickname Seven, is just days old, but the Panyapiwat Institution of Technology has promised her a bursary until she graduates.

“It is an unconditional scholarship that we gave to her because she was born on July 7 of the year 2007, and in a taxi with the licence plate 7777,” said Ratana Prasertsom, the rector of the institute.

“And when the mother and girl checked in at the hospital, they were given room 707 on the seventh floor.”

Thais place great faith in the mystical importance of numbers, and the succession of sevens in the baby’s birth is seen as deeply auspicious.

Newspapers have devoted entire pages to the infant and her good fortune.

Sunday, July 15, 2007

Ayat-ayat cinta - Seven milestones of love



Category: Books
Genre: Religion & Spirituality
Author: Habiburrahman El Shirazy

Seminggu CRIB selepas pembedahan kecil kerana komplikasi 'piles' merupakan satu kerehatan yg diberi Allah dan kesempatan membaca sebuah novel Islami berjudul Ayat-ayat Cinta yang amat mengesan jiwa. Sepanjang pembacaan itu mataku basah dengan air mata.Merasa rasa perkongsian cintakan syurga seperti apa yang Maria rasakan. Betapa susahnya nmencari kunci membuka pintu Babur Rahmah! Aduhai sungguh mengesankan sekali. Ya ALlah ampunilah hambamu ini.



Selama satu hari satu malam ku tekuni membaca Novel Ayat Ayat Cinta ini. Ayat ayat cinta Versi Indonesia dibawa pulang oleh Kak Yong pinjaman dari seorang kawan di hospital HKL. Sebenarnya sejak 2 tahun lepas ingin membaca nya namun belum ada rezki. Ternyata buku ini begitu bernilai sekali. Masyallah! wal hamdulillah. Dengan tag-Novel Pembangun Jiwa, ia memang sangat membekam jiwa dan begitu berkesan di hati.

Mengikuti perjalanan seorang pemuda warak, berilmu dan beramal bernama Fahri menyebabkan aku hanyut-seolah-olah berada negeri Musa-Mesir. Dalam musafir ini aku temui 7 ayat ayat cinta (love milestones) yang perlu di telusuri, di hayati dan di alami sedalamnya.

Milestone atau ayat cinta pertama ialah menuntut ilmu-

Menuntut ilmu semata-mata kerana Allah-demi dakwah membela agama tercinta! Ternyata kesusahan Fahri dalam menuntut ilmu dengan ulama terkenal seperti mengajak kita untuk bergerak ke arah jalan yang sama. Biarpun dipanggang panas mentari dan dibaham bahang pasir sahara atau hujan atau dingin salju-ilmu itu harus ditagih. Biarpun banyak ranjau dan duri yang mesti di harungi. Dalam menggeluti proposal thesis,penuh tekad dan berjaya diselia oleh professor yang menjadi idolanya. Dia sempat menerjemah karya karya klasik Islami Agung yang tersembunyi berkurun lama di khanzanah Bahasa Arab untuk di 'nusantara'kan. Satu perjuangan seorang pelajar yang bukan mudah, amat sukar malah impossible!.

Milestone Cinta kedua- love is universally islamic

Begitu universal cinta itu rupanya. Penuh humanistic. Jika tidak, mana mungkin Fahri boleh cintakan keluarga Maria-yang berlainan agama. Demikianlah, cinta itu harus disebarkan baik muslim atau non-muslim yang tidak memusuhi kita. Jelas di sini cinta itu sifatnya 'give and take'. Perlu ada yang memberi dan menerima.

Milestone Cinta ketiga adalah cinta kepada persahabatan.

Ternyata Fahri telah menjadi contoh teladan yang perlu diikuti. Satu uswah hasanah yang mulia dan pekerti yang dikaguni perlu ditiru. Kawan kawan serumah begitu mencintainya kerana akhlak dan pergaulan yang begitu tulus. Ini boleh dilihat semasa Fahri ditimpa musibah 'heat stroke'. Teman-temannya berganti berjaga malam-sanggup berkorban masa dan tenaga. Bilamana melihat Saiful tertidur di permaidani, kerana letih menjaganya, lantas Fahri berkata: Ana uhibbuka fillah ya akhi-Aku mencintaimu kerana Allah saudaraku!. Belum lagi penderma misteri (siapa malaikat itu) yang membayar semua ongkos perubatan Fahri di hospital!

Milestone cinta keempat adalah kemuncak segala-galanya yang menjadi idaman setiap remaja zaman ini. Cinta selepas nikah!

Masyallah, novel ini menjelaskan dengan begitu detail dan teliti. Gelagat Fahri dan Aisha di malam perkenalan yang begitu mempesonakan. Ada rasa sebak ketika membacanya. Meremang. Seram sejuk. Inilah jalan-jalan untuk remaja/pemuda pemudi kita perlu amati dalam mencari pasangan. Perlu ada orang ketiga-yang pastinya kita kenal dan percayai!

Keromantikan cinta selepas kahwin ternyata tiada taranya. Full of Thrills, Nombor wahid-first class. Inilah asasnya untuk bercinta. Foundation yang kukuh. Bulan madu di Sungai Nil Fahri sambil membelai lembut rambut wangi Aisha di apartment sambil melihat bulan begitu romantis. Cinta Halal-Inilah cinta yang UTAMA!


Sifat suka berkorban adalah milestone cinta yang kelima.

Fahri telah menunjukkan pedoman bagaimana dia bersabar ketika bumbung rumah sewanya bocor, tirisan air menitis dari rumah Maria. Sabar dan berkorban. Tentu yang paling INDAH adalah pengorbanan Aisha-isteri solehah yang sanggup berpoligami. Untuk Maria. Untuk maruahsuami dan keluarga. Untuk agama! Allahuakbar!

Milestone Cinta keenam yang kukira begitu penting adalah cintai kebenaran.

Maria telah menunjuk jalan. Kebenaran itu tertanam dalam kalimah syahadah! Lailahaillah Muhammadurrasulullah! (Tiada tuhan selain Allah dan nabi Muhammad itu pesuruh Allah!). Ia kunci syurga. Itulah kunci yang dibawa Maria sebelum kematiannya. Saat yang tragis dan menyebabkan aku bergenang airmata!terutama apabila Maria tidak berhenti berqasidah dan bertasbih menyebut nama ALlah antara kedua bibirnya yang semakin kering. Sungguh tragis watak Maria dimatikan! Mengapa perlu watak Maria dimatikan. aku tidak puas hati. Padaku Maria lah yang sebenarnya paling mulia di antara semua watak dalam novel ini mengalahkan Fahri kerana ia mati dalam keadaan husnul khatimah!Radhiyatan mardhiyah.Itulah impian kita semua.

Akhirnya, last milestone -the last terminal of love ie CINTA UTAMA adalah segala perbuatan itu kerana Allah dan RasulNya. Mentajarrudkan / membersiahkan niyat lillahi Taala. Ini mesej jelas dalam novel ini.

Bagiku, memang layak novel ini diberi taraf lima bintang! Ia menggugat perasaan, mencampurbaur rasa ketawa, geram, tangis, kecewa, gembira dan bahagia sekaligus mendekatkan ketaqwaan kepada Allah. Seribu macam perasaan! Ia membawa diri kita kembali kepada Allah-tatacara bercinta, mencintai juga dicintai.

ANA UHIBBUKA FILLAH YA AKHI!!!

Friday, July 06, 2007

Dua orang yang baik, tapi, mengapa perkawinan tidak berakhir bahagia

Tersentuh dengan penulisan ini, yang dikirim seorang kawan dari seberang

Dua orang yang baik, tapi, mengapa perkawinan tidak berakhir bahagia

Ibu saya adalah seorang yang sangat baik, sejak kecil, saya melihatnya dengan begitu gigih menjaga keutuhan keluarga. Ia selalu bangun dini hari, memasak bubur yang panas untuk ayah, karena lambung ayah tidak baik, pagi hari hanya bisa makan bubur.

Setelah itu, masih harus memasak sepanci nasi untuk anak-anak, karena anak-anak sedang dalam masa pertumbuhan, perlu makan nasi, dengan begitu baru tidak akan lapar seharian di sekolah. Setiap sore, ibu selalu membungkukkan badan menyikat panci, setiap panci di rumah kami bisa dijadikan cermin, tidak ada noda sedikikt pun. Menjelang malam, dengan giat ibu membersihkan lantai, mengepel seinci demi seinci, lantai di rumah tampak lebih bersih dibanding sisi tempat tidur orang lain, tiada debu sedikit pun meski berjalan dengan kaki telanjang.

Ibu saya adalah seorang wanita yang sangat rajin.
Namun, di mata ayahku, ia (ibu) bukan pasangan yang baik. Dalam proses pertumbuhan saya, tidak hanya sekali saja ayah selalu menyatakan kesepiannya dalam perkawinan, tidak memahaminya.

Ayah saya adalah seorang laki-laki yang bertanggung jawab.

Ia tidak merokok, tidak minum-minuman keras, serius dalam pekerjaan, setiap hari berangkat kerja tepat waktu, bahkan saat libur juga masih mengatur jadwal sekolah anak-anak, mengatur waktu istrirahat anak-anak, ia adalah seorang ayah yang penuh tanggung jawab, mendorong anak-anak untuk berpretasi dalam pelajaran.

Ia suka main catur, suka larut dalam dunia buku-buku kuno. Ayah saya adalah seoang laki-laki yang baik, di mata anak-anak, ia maha besar seperti langit, menjaga kami, melindungi kami dan mendidik kami.

Hanya saja, di mata ibuku, ia juga bukan seorang pasangan yang baik, dalam proses pertumbuhan saya, kerap kali saya melihat ibu menangis terisak secara diam diam di sudut halaman.
Ayah menyatakannya dengan kata-kata, sedang ibu dengan aksi, menyatakan kepedihan yang dijalani dalam perkawinan.

Dalam proses pertumbuhan, aku melihat juga mendengar ketidakberdayaan dalam perkawinan ayah dan ibu, sekaligus merasakan betapa baiknya mereka, dan mereka layak mendapatkan sebuah perkawinan yang baik. Sayangnya, dalam masa-masa keberadaan ayah di dunia, kehidupan perkawinan mereka lalui dalam kegagalan, sedangkan aku, juga tumbuh dalam kebingungan, dan aku bertanya pada diriku sendiri : Dua orang yang baik mengapa tidak diiringi dengan perkawinan yang bahagia?

Pengorbanan yang dianggap benar.

Setelah dewasa, saya akhirnya memasuki usia perkawinan, dan secara perlahan –lahan saya pun mengetahui akan jawaban ini. Di masa awal perkawinan, saya juga sama seperti ibu, berusaha menjaga keutuhan keluarga, menyikat panci dan membersihkan lantai, dengan sungguh-sungguh berusaha memelihara perkawinan sendiri. Anehnya, saya tidak merasa bahagia ; dan suamiku sendiri, sepertinya juga tidak bahagia.

Saya merenung, mungkin lantai kurang bersih, masakan tidak enak, lalu, dengan giat saya membersihkan lantai lagi, dan memasak dengan sepenuh hati. Namun, rasanya, kami berdua tetap saja tidak bahagia. .

Hingga suatu hari, ketika saya sedang sibuk membersihkan lantai, suami saya berkata : istriku, temani aku sejenak mendengar alunan Nasyid!

Dengan mimik tidak senang saya berkata : apa tidak melihat masih ada separoh lantai lagi yang belum di pel ?

Begitu kata-kata ini terlontar, saya pun termenung, kata-kata yang sangat tidak asing di telinga, dalam perkawinan ayah dan ibu saya, ibu juga kerap berkata begitu sama ayah. Saya sedang mempertunjukkan kembali perkawinan ayah dan ibu, sekaligus mengulang kembali ketidakbahagiaan dalam perkwinan mereka. Ada beberapa kesadaran muncul dalam hati saya.

Yang kamu inginkan ?

Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu memandang suamiku, dan teringat akan ayah saya…
Ia selalu tidak mendapatkan pasangan yang dia inginkan dalam perkawinannya, waktu ibu menyikat panci lebih lama daripada menemaninya. Terus menerus mengerjakan urusan rumah tangga, adalah cara ibu dalam mempertahankan perkawinan, ia memberi ayah sebuah rumah yang bersih, namun, jarang menemaninya, sibuk mengurus rumah, ia berusaha mencintai ayah dengan caranya, dan cara ini adalah mengerjakan urusan rumah tangga. Dan aku, aku juga menggunakan caraku berusaha mencintai suamiku. Cara saya juga sama seperti ibu, perkawinan saya sepertinya tengah melangkah ke dalam sebuah cerita, dua orang yang baik mengapa tidak diiringi dengan perkawinan yang bahagia.

Kesadaran saya membuat saya membuat keputusan (pilihan) yang sama.

Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu duduk di sisi suami, menemaninya mendengar Nasyid, dan dari kejauhan, saat memandangi kain pel di atas lantai seperti menatapi nasib ibu.

Saya bertanya pada suamiku : apa yang kau butuhkan ?

Aku membutuhkanmu untuk menemaniku mendengar Nasyid, rumah kotor sedikit tidak apa-apa-lah, nanti saya carikan pembantu untukmu, dengan begitu kau bisa menemaniku! ujar suamiku.

Saya kira kamu perlu rumah yang bersih, ada yang memasak untukmu, ada yang mencuci pakaianmu….dan saya mengatakan sekaligus serentetan hal-hal yang dibutuhkannya.

Semua itu tidak penting-lah! ujar suamiku. Yang paling kuharapkan adalah kau bisa lebih sering menemaniku.

Ternyata sia-sia semua pekerjaan yang saya lakukan, hasilnya benar-benar membuat saya terkejut.
Kami meneruskan menikmati kebutuhan masing-masing, dan baru saya sadari ternyata dia juga telah banyak melakukan pekerjaan yang sia-sia, kami memiliki cara masing-masing bagaimana mencintai, namun, bukannya cara pihak kedua.

Jalan kebahagiaan

Sejak itu, saya menderetkan sebuah daftar kebutuhan suami, dan meletakkanya di atas meja buku,
Begitu juga dengan suamiku, dia juga menderetkan sebuah daftar kebutuhanku. Puluhan kebutuhan yang panjang lebar dan jelas, seperti misalnya, waktu senggang menemani pihak kedua mendengar Nasyid, saling memeluk kalau sempat, setiap pagi memberi sentuhan selamat jalan bila berangkat.

Beberapa hal cukup mudah dilaksanakan, tapi ada juga yang cukup sulit, misalnya dengarkan aku, jangan memberi komentar. Ini adalah kebutuhan suami. Kalau saya memberinya usul, dia bilang akan merasa dirinya akan tampak seperti orang bodoh. Menurutku, ini benar-benar masalah gengsi laki-laki. Saya juga meniru suami tidak memberikan usul, kecuali dia bertanya pada saya, kalau tidak saya hanya boleh mendengar dengan serius, menurut sampai tuntas, demikian juga ketika salah jalan.

Bagi saya ini benar-benar sebuah jalan yang sulit dipelajari, namun, jauh lebih santai daripada mengepel, dan dalam kepuasan kebutuhan kami ini, perkawinan yang kami jalani juga kian hari semakin penuh daya hidup. Saat saya lelah, saya memilih beberapa hal yang gampang dikerjakan, misalnya menyetel Nasyid ringan, dan kalau lagi segar bugar merancang perjalanan keluar kota. Menariknya, pergi ke taman flora adalah hal bersama dan kebutuhan kami, setiap ada pertikaian, selalu pergi ke taman flora, dan selalu bisa menghibur gejolak hati masing-masing. Sebenarnya, kami saling mengenal dan mencintai juga dikarenakan kesukaan kami pada taman flora, lalu bersama kita menapak ke tirai merah perkawinan, kembali ke taman bisa kembali ke dalam suasana hati yang saling mencintai bertahun-tahun silam.

Bertanya pada pihak kedua : apa yang kau inginkan, kata-kata ini telah menghidupkan sebuah jalan kebahagiaan lain dalam perkawinan. Keduanya akhirnya melangkah ke jalan bahagia. Kini, saya tahu kenapa perkawinan ayah ibu tidak bisa bahagia, mereka terlalu bersikeras menggunakan cara sendiri dalam mencintai pihak kedua, bukan mencintai pasangannya dengan cara pihak kedua.

Diri sendiri lelahnya setengah mati, namun, pihak kedua tidak dapat merasakannya, akhirnya ketika menghadapi penantian perkawinan, hati ini juga sudah kecewa dan hancur. Karena Tuhan telah menciptakan perkawinan, maka menurut saya, setiap orang pantas dan layak memiliki sebuah perkawinan yang bahagia, asalkan cara yang kita pakai itu tepat, menjadi orang yang dibutuhkan pihak kedua! Bukannya memberi atas keinginan kita sendiri, perkawinan yang baik, pasti dapat diharapkan.