Thursday, October 21, 2010

Memelihara Cinta Kasih


Dari segi bahasa, ‘widad’ bererti CINTA KASIH SECARA TIMBAL BALIK.
Ia juga merupakan satu perkataan yang serumpun dengan perkataan ‘mawaddah’ sepertimana yang disebutkan oleh Allah swt di dalam Al Qur’an :
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS Ar Rum : 21).
Dalam kamus dakwah, tarbiyah dan harakah, perkataan yang serumpun dengan ‘widad’ ini sangatlah terkenal.
Contohnya adalah firman Allah swt :
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal soleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang."
Sabda Rasulullah saw :
"Perumpamaan orang-orang beriman dalam saling mencintai, saling menyayangi dan saling bersimpati adalah seperti satu tubuh, jika ada satu organ yang sakit, maka organ-organ lainnya akan terbawa olehnya dalam bentuk susah tidur dan demam." (Muttafaqun ‘alaih).
Mengingati betapa pentingnya ‘wuddun’ atau ‘widad’ atau ‘tawaddihim’ atau yang serumpun kata dengannya inilah, maka seorang tokoh dakwah di abad 20 yang masih terkenal sehingga sekarang, iaitu Imam Hasan Al Banna pernah mengatakan :
“Laa tufsiduu lil wuddi qadhiyyah” yang memberi maksud :
“Janganlah permasalahan, pertikaian, perselisihan dan seumpamanya yang ada di antara sesama da’ie atau antara ‘murabbi’ (orang yang mentarbiyah) dan ‘mutarabbi’ (orang yang ditarbiyah), atau antara ‘qiyadah’ (pemimpin) dan ‘junud’ (pengikut) atau antara syeikh dan murid menjadi penyebab hancurnya cinta kasih yang ada di antara mereka.”
Yang perlu kita fahami bahwa memang, hubungan antara seorang da’ie dengan da’ie yang lain atau antara ‘murabbi’ dan ‘mutarabbinya’, atau antara ‘qiyadah’ dan ‘junud’ hendaklah dibangunkan di atas dasar ‘widad’ (cinta kasih), bahkan hubungan antara sesama muslimpun mestilah dibangunkan di atas dasar dan prinsip ini.
Oleh yang demikian, dalam salah satu risalahnya, Imam Hasan Al Banna menjelaskan bahwa institusi tarbiyah hendaklah dibangunkan di atas tiga rukun iaitu :
Ta’aruf.
Tafaahum.
Takaaful.
Dalam penjelasannya, ia memaparkan bahwa yang dimaksudkan dengan ‘Ta’aruf’ adalah usaha:
Saling kenal mengenal antara sesama da’ie.
Saling mencintai kerana Allah.
Merasakan nilai ukhuwwah yang benar dan sempurna.
Bersungguh-sungguh untuk tidak mengeruhkan hubungan.
Yang bermotokan atau bersyi’arkan ayat-ayat Allah seperti “Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara” dan “Berpegang teguhlah kamu dengan tali Allah” serta hadits muttafaq ‘alaih di atas.
Sementara yang dimaksudkan dengan ‘Tafaahum’ adalah :
Istiqamah di atas manhaj Al Haq.
Menjalankan perintah Allah.
Menjauhi laranganNya.
Muhasabah diri.
Saling menasihati dengan berbagai peraturan dan adab-adab nasihat.
Usaha untuk sentiasa mencintai dan menghormati saudaranya.
Manakala yang dimaksudkan dengan ‘Takaaful’ adalah :
Tolong menolong dalam hal kebaikan.
Saling membantu untuk memenuhi keperluan.
Bersama-sama menutup kekurangan.
Menanyakan keadaan saudara seiman untuk menunaikan hajat mereka.
Menjaga perasaan mereka.
Menghilangkan kesedihan mereka.
Apa yang dijelaskan oleh Imam Hasan Al Banna ini selari dengan kenyataan Imam Syafi’ie rahimahullah, kerana memang keduanya mengambil dari mata air yang sama, iaitu kitab Allah swt dan Sunnah RasulNya saw.
Imam Syafi’ie berkata :
‘Al-hurru man raa-’aa widaada lahzhatin, wantamaa li man afaadahu lafzhatan’ yang bererti :
“Manusia yang merdeka (bebas dari segala macam perhambaan) adalah seseorang yang ‘memuro’at’ (memperhatikan atau memelihara) ‘widad’ orang lainnya, meskipun ‘widad’ itu hanya ‘lahzhatin’ (sesaat), dan berintima’ kepada orang yang telah memberikan faidah kepadanya, meskipun hanya ‘lafzhatan’ (satu perkataan).”
Dalam kamus dakwah, tarbiyah dan harakah, kenyataan Imam Syafi’ie ini perlu kita renungkan secara mendalam agar kita dapat menggali berbagai ‘ibrah (pengajaran) yang terkandung di dalamnya.
Di antara pengajaran-pengajaran tersebut adalah :
PERTAMA : Ada empat istilah yang dinyatakan oleh Imam Syafi’ie yang perlu kita fahamkan baik-baik samada status kita sebagai ‘murabbi’ ataupun ‘mutarabbi’ atau samada kita sebagai ‘qiyadah’ ataupun ‘junud’.
Empat istilah tersebut adalah :
Widad (Cinta kasih timbal balik).
Muro’at (Perhatian/penjagaan/pemeliharaan/pembelaan/kesetiaan).
Ifadah (Perkara yang bermanfaat atau berfaedah).
Intima’ (Menggabungkan diri atau mendukung).
Situasi 1
Jika kita adalah ‘murabbi’ dan menginginkan adanya ‘muro’at’ (perhatian, penjagaan, pemeliharaan, pembelaan atau kesetiaan) dari ‘mutarabbi’ kita, maka kita terlebih dahulu mesti memberikan ‘widad’ kepada para ‘mutarabbi’ kita.
Situasi 2
Jika kita adalah ‘qa’id’ (pemimpin) yang mengharapkan untuk mendapatkan ‘muro’at’ dari ‘junud’ (pengikut) kita, maka kita terlebih dahulu mesti memberikan ‘widad’ kepada para ‘junud’ kita.
Situasi 3
Jika kita adalah ‘murabbi’ dan menginginkan adanya ‘intima’’(penggabungan atau dukungan) dari ‘mutarabbi’ kita, maka kita terlebih dahulu mesti memberikan ‘ifadah’ (perkara yang bermanfaat atau berfaedah) kepada para ‘mutarabbi’ kita.
Situasi 4
Jika kita adalah ‘qa’id’ (pemimpin) yang mengharapkan ‘intima’’ (penggabungan atau dukungan) dari ‘junud’ (pengikut) kita, maka kita terlebih dahulu mesti memberikan ‘widad’ kepada para ‘junud’ kita.
Sebaliknya, jika kita adalah ‘mutarabbi’, maka hendaklah kita menyedari :
Betapa banyaknya ‘widad’ dan ‘ifadah’ yang telah kita dapatkan dari ‘murabbi’ kita, bukan hanya ‘lahzhatin’ (sesaat) seperti yang dikatakan oleh Imam Syafi’ie, tetapi sehari, bahkan seminggu, sebulan, setahun atau seumur hidup.
Begitu pula dalam hal ‘ifadah’, bukan hanya ‘lafzhatin’ (satu perkataan) seperti yang dikatakan oleh Imam Syafi’ie, tetapi mungkin satu ayat atau satu tulisan/buku, bahkan puluhan tulisan/buku, maka sudah sewajarnyalah kita memberi ‘muro’at dan ‘berintima’ kepada ‘murabbi’ kita itu.
Perkara yang sama yang perlu dilakukan oleh ‘junud’ terhadap ‘qiyadah’ mereka.
KEDUA : Kadang-kadang, sebahagian kita menganggap bahwa hubungan antara ‘murabbi’ dan ‘mutarabbi’ adalah hubungan kebendaan semata-mata (maksudnya : menyampaikan bahan tarbiyah atau pembinaan).
Namun, jika kita mahu merenungkan kenyataan singkat Imam Syafi’ie yang penuh makna ini, niscaya kita akan mengetahui bahwa persepsi seperti ini (hubungan material) semata-mata adalah sesuatu yang salah.
Ada sesuatu yang lebih penting dari sekadar material (bahan) atau sifat kebendaan tersebut iaitu ‘widad’.
Maksudnya :
Sudah sejauh manakah para ‘murabbi’ memberikan ‘widad’nya kepada para ‘mutarabbi’ dan sudah seberapa besarkah para ‘mutarabbi’ merasakan ‘widad’ dari ‘murabbinya’.
Bukankah Rasulullah saw bersabda :
"Tidaklah kamu masuk syurga sehingga kamu beriman, dan tidaklah kamu beriman sehingga kamu saling mencintai, …" (HR Muslim).
Perlu juga kita ketahui bahwa hubungan material tidaklah seratus peratus sama dengan hubungan ‘ifadah’.
Ini adalah kerana, boleh sahaja seorang ‘murabbi’ menyampaikan suatu bahan, akan tetapi, bagi para ‘mutarabbi’ :
Ia merasa tidak mendapatkan faedah apa-apa dari bahan tersebut itu.
Ia tidak mendapatkan sesuatu yang terasa benar-benar berguna bagi kehidupan agamanya.
Ia tidak merasakan kepentingannya kepada kehidupan duniawinya.
Ia tidak begitu tertarik kerana boleh jadi bahannya sudah tidak relevan dan tidak memberi banyak makna kepada kehidupannya.
Ia mungkin terasa tiada yang baru dalam pengisian bahan atau penyampaian mungkin terlalu hambar, tiada ruh atau mungkin banyak kesalahan penulisan bahan-bahan ilmiah yang menyebabkan hilangnya nilai faedah dari bahan atau material tersebut.
KETIGA : Perlu ditegaskan di sini bahwa tujuan kita memberikan ‘widad’ dan ‘ifadah’ bukanlah agar kita mendapatkan ‘muro’at’ dan ‘intima’’ tadi, akan tetapi, tujuan kita tetaplah mencari ridha Allah swt.
‘Muro’at dan ‘intima’’ itu bolehlah kita anggap seperti ghanimah (harta rampasan perang) dalam peperangan di mana, jika ada kita ambil, namun jika tiada, maka kita sudahpun mengikhlaskannya untuk Allah swt dan mengharapkan ganjaran di sisiNya di akhirat nanti.
Marilah kita renungkan kembali dan benar-benar fahami keempat-empat kalimat yang penting dalam kenyatan Imam Syafi’ie di atas semoga kita termasuk orang-orang yang mampu memberikan ‘widad’ kepada ‘mutarabbi’ kita bukan dengan tujuan ingin mendapatkan ‘muro’at’, akan tetapi kerana Allah swt dan semoga kita termasuk orang-orang yang sentiasa mampu memberikan ‘ifadah’ kepada orang lain bukan dengan tujuan untuk mendapatkan ‘intima’’, akan tetapi semata-mata tulus ikhlas untuk Allah swt dan dalam rangka melaksanakan hadits Rasulullah saw berikut :
“Sungguh, Allah swt memberikan hidayah kepada seseorang lantaran usaha kamu, itu lebih baik bagimu daripada unta merah”. (Muttafaqun ‘alaih).
Ya Allah, jadikanlah kami golongan yang sentiasa menumpahkan cinta kasih kami kepada manusia yang didakwahkan serta berusaha untuk memberi manfaat ilmu dan qudwah yang benar sehingga mereka memberi perhatian, memelihara serta bangun untuk memberikan sokongan dan dukungan terhadap seruan dakwah yang dilancarkan.
Ameen Ya Rabbal Alameen
Hasil tulisan: Wan Ahmad Sanadi (IKRAM Shah Alam)

Monday, October 18, 2010

Maher Zain - The Chosen One | ماهر زين - المختار

The Chosen One (Lyrics)
In a time of darkness and greed

It is your light that we need

You came to teach us how to live

Muhammad Ya Rasool Allah
You were so caring and kind

Your soul was full of light

You are the best of mankind

Muhammad Khaira KhalqillahSallu ‘ala Rasulillah,

Habib Al Mustafa

Peace be upon The Messenger

The Chosen One


From luxury you turned away

And all night you would pray

Truthful in every word you say

Muhammad Ya Rasul Allah
Your face was brighter than the sun

Your beauty equaled by none

You are Allah’s Chosen One

Muhammad Khaira KhalqillahSallu ‘ala Rasulillah,

Habib Al Mustafa Peace be upon

The Messenger

The Chosen One
I will try to follow your way

And do my best to live my life

As you taught meI pray to be close to you

On that day and see you smile

When you see meSallu ‘ala Rasulillah,

Habibil Mustafa

Peace be upon The Messenger

The Chosen One


Sallu ‘ala Rasulillah, Habibi MustafaPeace be upon The MessengerThe Chosen One

Maher Zain - Open Your Eye with Lyrics

always be there with lyric by maher zain [HQ]

Maher Zain - For The Rest Of My Life with Lyrics

Maher Zain - Insha Allah | ماهر زين - إن شاء الله

Maher zain- Alhamdulilah

Sunday, October 10, 2010

Mariah Carey - the Hero lies in you (Lyrics)

Kejadian manusia

WANG JUDI DARI OPANDANGAN DR MAZA DAN USTAZ ZAHARUDDIN

Duit Sumbangan Hasil Judi. Halalkah?


Soalan: Dr Asri, sekarang ini heboh tentang hukum menerima sumbangan dari hasil haram. Saya pun baca kenyataan Dr Asri yang menyatakan tidak mengapa selagi traksaksi itu atas bantuan, bukan judi. Cumanya, masyarakat kita keliru, ada kata boleh dan ada kata sebaliknya. Jika haram, apa hukum pula kakitangan kerajaan yang menerima gaji dari kerajaan yang mempunyai pelbagai sumber termasuk hasil cukai judi dan arak? Bagaimana pula anak-anak yang mendapat wang dari bapa terlibat dengan wang haram seperti riba, rasuah dan seumpamanya? Bagaimana pula persatuan-persatuan yang mendapat bantuan dari syarikat atau bank yang mempunyai sumber haram seperti arak atau riba?

Mazlan, Pulau Pinang.

Jawapan Dr MAZA: Saudara Mazlan, perkara yang penting dalam traksaksi kewangan dan sebagainya, seseorang hendaklah tahu atas asas apa traksaksi itu dibuat. Maksudnya, dia mesti jelas wang atau barang yang diterimanya atas dasar apa. Jika yang diterimanya itu atas penjualan arak yang dia lakukan, atau judi yang dia terlibat atau riba yang berurusan dengannya, atau pelacuran yang terbabit maka ia haram. Jika ia terima atas jual beli, atau bayaran hutang, bantuan, atau pemberian atau hadiah yang dia tidak terbabit dengan urusan kegiatan haram, maka ia pada asalnya adalah halal. Sebagai pendetilannya, saya sebutkan beberapa perkara berikut;

1. Seseorang yang menerima wang dari pihak yang lain hendaklah memastikan atas traksaksi apa wang itu diterima. Adapun urusan sebelum itu, yang tidak membabitkan diri penerima, maka itu tidak pertanggungjawabkan kesalahan itu ke atas penerima tersebut.

Umpamanya, kakitangan kerajaan yang bekerja dalam urusan yang halal dan mendapat gaji, maka gaji itu halal. Sekalipun kemungkinan sumber kerajaan dalam membayar gaji itu diambil dari kegiatan yang haram seperti perjudian atau arak atau seumpamanya. Ini kerana urusan haram itu tidak membabitkan diri penerima gaji berkenaan dan gaji itu diterima atas kerjanya yang halal, bukan aktiviti yang haram.

2. Hal yang sama, jika seseorang berhutang kepada kita, lalu dia datang membayar dari hasil wang haram yang diperolehinya seperti menang loteri. Kita halal mengambil hutang kita sekalipun dia bayar dari wang loteri berkenaan. Ini kerana yang haram ialah pemindahan wang dari syarikat loteri kepada yang berhutang, iaitu atas asas judi. Sedangkan pemindahan wang tersebut kepada kita, atas asas membayar hutang, yang tiada kaitan dengan judi.

Begitu juga, jika pengurus bank riba, atau taukeh judi atau taukeh arak datang ke kedai kita dan membeli barang atau makanan, halal kita menerima wang yang mereka bayar. Ini kerana wang itu diterima atas dasar jual beli, bukan judi, atau riba atau arak. Kegiatan yang salah ditanggung dosanya oleh pelakunya, sedang yang menjual barang halal kepada mereka tidak terlibat.

3. Asas dalam hal ini disebut oleh al-Quran (maksudnya):

“dan tiadalah (kejahatan) yang diusahakan oleh sesuatu jiwa (seorang) melainkan dialah yang menanggung dosanya; dan seseorang yang boleh memikul tidak akan memikul dosa orang lain”. (Surah al-An’am, ayat 164)

4. Dalil yang menunjukkan kenyataan ini, ialah amalan Nabi s.a.w di mana baginda menerima pemberian wanita Yahudi di Khaibar yang menghadiahkan baginda kambing, baginda memakannya. Ini seperti yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Walaupun Yahudi terkenal dengan penipuan, riba dan rasuah tetapi baginda tetap menerima hadiah mereka.

Begitu juga –seperti riwayat al-Bukhari- baginda pernah menggadai baju besi kepada Yahudi dan mengambil gandum untuk keluarga baginda. Baginda juga menerima jemputan makan roti bali dan minyak yang sudah berubah baunya dari seorang yahudi. Ini seperti dalam riwayat al-Bukhari, Ahmad, al-Tirmizi dan lain-lain.

5. Rasulullah s.a.w tidak boleh memakan sedekah. Ini adalah hukum untuk baginda dan Ahlul Bait. Suatu hari Barirah bekas hamba ‘Aisyah telah mendapat sedekah daging. Apabila daging itu dihidangkan kepada Nabi s.a.w, lalu baginda diberitahu bahawa daging tersebut adalah sedekah kepada Barirah. Baginda menjawab:

“Untuk dia sedekah, untuk kita hadiah” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).

Maksudnya, daging itu disedekah kepada Barirah, kemudian Barirah menghadiahkan kepada Nabi s.a.w. Jika ia disedekah kepada Nabi s.a.w, baginda tidak boleh makan. Walaupun asalnya sedekah, tetapi baginda menerima dari Barirah atas asas hadiah, maka halal untuk baginda. Di sini menunjukkan yang diambil kira transaksi antara pemberi dan penerima, bukan yang sebelum itu.

6. Seorang lelaki bertanya kepada Abdulllah bin Mas’ud:

“Aku ada jiran yang memakan riba dan dia selalu menjemputku makan”. Jawab ‘Abdullah bin Mas’ud: “Engkau dapat makan, dosa ditanggung olehnya”. (Musannaf ‘Abd al-Razzaq, bil: 14675).

Dalam riwayat al-Baihaqi,

seseorang bertanya Ibn ‘Umar bahawa beliau ada jiran yang memakan riba atau mempunyai pekerjaan yang haram, kadang-kala dia jemput makan, bolehkah hadir?. Jawab Ibn ‘Umar: “Ya” (al-Sunan al-Kubra, bil: 11138).

7. Al-Syeikh al-‘Allamah Muhammad Solih ibn al-Uthaimin r.h pernah ditanya mengenai hukum nafkah yang diterima oleh isteri dan anak dari suami yang terlibat dengan bank riba, apakah mereka boleh mengambilnya. Beliau menjawab:

“Ambillah nafkah itu dari bapa kamu. Kamu mendapat kenikmatan, dia pula mendapat dosa. Ini kerana kamu mengambil nafkah tersebut secara berhak. Harta padanya, dan kamu tiada harta. Kamu mengambilkan dengan cara yang benar. Sekalipun kesalahan, balasan dan dosa ke atas bapa kamu, jangan kamu gusar. Nabi s.a.w pun menerima hadiah dari yahudi, memakan makanan yahudi, membeli dari yahudi sedangkan yahudi terkenal dengan riba dan harta haram, tetapi Rasulullah s.a.w memakannya dengan jalan yang halal. Maka, jika seseorang memilikinya dengan jalan yang halal, maka tidak mengapa” (http://www.estgama.net/estgama_mag/full.php?id=82).

8. Dr Yusuf al-Qaradawi ketika ditanya mengenai wang riba ke mana patut disalurkan, beliau menyebut antaranya:

“Sebenarnya, wang tersebut keji (haram) jika nisbah kepada orang mendapatkan secara tidak halal, tetapi ia baik (halal) untuk fakir miskin dan badan-badan kebajikan…(penyelesaiannya) disalurkan ke badan-badan kebajikan iaitu fakir miskin, anak-anak yatim, orang terputus perjalanan, institusi-institusi kebajikan islam, dakwah dan kemasyarakatan..” (al-Fatawa al-Mu’asarah 2/411, Beirut: Dar Ulil Nuha).

9. Namun diharamkan jika membabitkan kezaliman secara jelas kepada pihak lain (hak al-‘ibad) yang mana dengan kita mengambil, akan ada yang teraniaya tanpa rela, seperti harta curi dan rompakan. Sabda Nabi s.a.w:

“Allah tidak terima solat tanpa bersuci, dan sedekah dari pengkhianat” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).

Ini kerana penerimaan ini akan menyebabkan pihak yang sedang menuntut atau mencari hartanya yang dirampas atau dicuri terzalim. Melainkan pihak yang dizalimi itu redha. Jika dia menuntut, wajib dikembalikan kepadanya.

10. Walaupun harta atau pemberian dari harta yang haram itu boleh diambil, tetapi jika dengan pemberian itu menunjukkan secara jelas sikap bersekongkol dengan dosa maka ia diharamkan kerana redha dengan maksiat. Ini seperti seseorang membelanja makan dengan wang judi sempena kemenangan judinya. Atau dia mempromosi syarikat judi tersebut secara jelas dengan cara memberi bantuan, maka haram bersekongkol dengan kemaksiatan seperti itu.

11. Maka fakir miskin yang mendapat bantuan kerajaan atau pihak lain dari sumber yang asalnya haram, mereka HALAL menerimanya dan tidak perlu dikembalikan. Dengan syarat mereka tidak terlibat secara langsung dalam mempromosikan aktiviti haram seperti perjudian dan arak.

Ustaz Zaharuddin.

Tindakan penerima wang bantuan kerajaan Pulau Pinang memulangkan kembali wang tersebut boleh dinilai dari dua sudut iaitu sudut politik dan sudut agama atau hukum. Saya tidak berhasrat menyentuh isu terbabit dari sudut politik kerana ia bukan bidang saya. Cuma jika, tindakan tersebut jika dijadikan ikutan, nanti kita akan dapat melihat kebanyakan orang miskin di Malaysia memulangkan wang bantuan yang diberikan oleh kerajaan negeri, kerajaan pusat dan syarikat. Ini kerana sebahagian pendapatan kerajaan negeri dan pusat juga adalah dari sumber haram seperti cukai pusat judi, pelaburan haram, riba, pusat hiburan, rumah urut ‘pelacuran’ dan sebagainya. Justeru bantuan mungkin sahaja diambil dari wang haram tersebut.

DARI SUDUT HUKUM

Jika dilihat dari sudut hukum, jika tindakan warga emas tersebut dibuat atas dasar kononnya wang dipulang kerana ia tidak bersih dan haram, tindakan mereka adalah SALAH lagi terkeliru dengan cakap-cakap orang yang tiada memahami hukum Islam. Ini kerana dari sudut hukum, faqir dan miskin HARUS menerima sebarang sumbangan yang diberikan oleh pihak kerajaan negeri, walaupun diketahui kerajaan negeri mempunyai sumber wang yang HARAM.

Fakta berikut perlu difahami:

1. Wang kerajaan negeri Pulau Pinang ( dan lain-lain tentunya) adalah bercampur.

Para ulama telah membahaskan persoalan penerimaan sumbangan, derma atau menikmati juadah makanan dari individu yang mempunyai pendapatan bercampur antara halal dan haram. Majoriti ulama telah sepakat bahawa selagi mana harta si pemberi itu bercampur selagi itulah kita orang biasa boleh menerima hadiah, sumbangan, derma, menikmati makanan yang disediakan mereka.

Hal yang sama terpakai untuk sesebuah syarikat dan kerajaan, selagi sumber perolehan mereka bercampur, selagi itu HARUS untuk kita menerima gaji atau upah atau apa jua dari kantung mereka, selagi tugas dan cara kita memperolehinya adalah betul. Itu adalah hukum untuk orang biasa, maka jika penerima itu adalah warga yang memerlukan seperti faqir dan miskin, ia sudah tentu jauh lebih jelas KEHARUSANNYA. Malah terdapat dalil yang jelas berkenaan keharusan terbabit. Kes yang sama terpakai untuk kerajaan pusat yang menerima sumber pendapatan dari sumber judi, riba, arak, babi, rumah urut pelacuran dan sebagainya. Selain itu, juga turut menerima sumber halal seperti hasil minyak, jualan komoditi dan sebagainya.

2. Wang itu sendiri tidak najis atau haram pada zatnya.

Wang dan harta hanya dikira haram atau halal pada cara mendapatkannya dan membelanjankannya, ia dinamakan haram dari sudut hukmi bukan ‘hissi’. Ia tidak berpindah dari seorang kepada yang lain. Ia bukan seperti najis yag berpindah apabila disentuh oleh seeorang.

3. Bagaimana jika benar-benar sumbangan dari terus dari kantung wang judi, riba dan rasuah?.

Jika keadaan itu berlaku, ia masih lagi HARUS DITERIMA oleh Faqir, miskin dan digunakan untuk maslahat umum seperti sumbangan warga emas, pembinaan jalanraya, pembersihan dan sebagainya. Itu adalah ijtihad majoriti mazhab silam dan ulama kontemporari. Termasuklah, Majlis Fiqh Antarabangsa OIC, Majlis Fatwa Eropah, Majma Buhuth Mesir[1], Al-Lajnah Al-Daimah, Arab Saudi[2] dan ribuan ulama perseorangan seperti Imam Al-Ghazali, Imam An-Nawawi, Syeikh Al-Qaradawi , Syeikh Az-Zarqa[3], Syeikh Faisal Al-Maulawi dan ramai lagi. Derma bagi wang haram tidak mampu dipulangkan semula kepada tuannya ini hendaklah disedeqahkan kepada orang faqir miskin telah difatwakan harus oleh majoriti mazhab utama Islam ( Hasyiah Ibn ‘Abidin, 6/443 ; Fatawa Ibn Rusyd, 1/632 ; Al-Qawaid, Ibn Rejab, hlm 225 )

Begitu juga fatwa yang dikeluarkan oleh Majlis Fatwa kebangsaan Malaysia pada 25 Jun 2009. Buka sini http://www.e-fatwa.gov.my/fatwa-kebangsaan/penyaluran-harta-tidak-patuh-syariah-ke-baitulmal-dan-institusi-islam-lain

PANDANGAN ULAMA MAZHAB

Ulama hanafi menyebut :-

والملك الخبيث سبيله التصدق به, ولو صرف في حاجة نفسه جاز . ثم إن كان غنيا تصدق بمثله

Ertinya : Pemilikan kotor ( haram) jalan keluarnya adalah disedeqahkannya, malah jika pemilik itu seorang faqir), ia bleh mengambil untuk dirinya sendiri, kemudian, jika selepas itu dia menjadi kaya, hendaklah dia mendermakan wang haram (yang pernah diambilnya sewaktu miskin dahulu) ( Al-Ikhtiyar Li Ta’lil al-Mukhtar, 3/61)

Ulama mazhab Maliki seperti Al-Qarafi dan Ad-Dawudi menjelaskan wang haram tidak hanya terhad untuk diberikan kepada faqir dan miskin sahaja tetapi juga apa-apa pembangunan dan kegunaan yang memberi manfaat kepada umum menurut budi bicara dan penilaian pemerintah adil. Jelasnya, mazhab maliki juga setuju faqir, miskin malah warga emas yang memerlukan boleh menerima wang sedemikian tanpa masalah. ( rujuk Al-Dzakhirah, 5/69)

Ulama Mazhab Syafie, Imam An-Nawawi menukilkan kata-kata Imam al-Ghazali yang berkata:

وإذا دفعه – أي المال الحرام- إلى الفقير لا يكون حراماً على الفقير , بل يكون حلالا طيبا

Ertinya : sekiranya wang haram itu diberikan kepada faqir miskin, ia tidaklah haram ke atas faqir ( dan miskin), bahkan ia adalah halal lagi baik untuk mereka. ( Al-Majmu’ , 9/428)

Imam A-Ghazzali juga menjawab keraguan beberapa ulama lain :-

وقول القائل: لا نرضى لغيرنا ما لا نرضاه لأنفسنا فهو كذلك ولكنه علينا حرام لاستغنائنا عنه وللفقير حلال إذا حلّه دليل الشرع وإذا اقتضت المصلحة التحليل وجب التحليل

Ertinya : Menjawab kata-kata orang yang berkata : “Kita tidak sepatutnya redha untuk diberikan kepada orang lain sesuatu yang kita tidak redha untuk kita”. Memang benar sebegitu, namun dalam kes wang haram yag dimiliki, ia haram ke atas diri kita (pemilik) untuk menggunakannya, namun ia bagi faqir, miskin adalah halal, kerana telah ada dalil syara’ yang menghalalkannya dan di ketika wujud kebaikan dari pemberian tersebut (kepada penerima), maka wajiblah diberikan. (Ihya Ulumiddin, 2/212)

Syeikh al-Qaradawi ketika membicara hal pengagihan wang haram berkata :

إذن ما دام هو ليس مالكا له, جاز له أخذه والتصدق به على الفقراء والمساكين أو يتبرع به لمشروع خيري

Ertinya : Oleh itu, selagi wang haram (yang dimiliki seseorang itu tidak diiktiraf oleh syaraa’ sebagai miliknya), harus bagi pemegang itu untuk ambilnya dan disedeqahkan kepada faqir miskin atau didermakan kepada projek-projek kebaikan (untuk maslahat umum). ( Fatawa Mu’asiroh, 1/606)

RINGKASAN DALIL

Terdapat banyak sekali dalil yang dijadikan sandaran oleh majoriti ulama, terdiri dari hadis-athar, qiyas dan logik aqal. Antara hujjah yang dipegang bagi mengharuskan ‘derma’ wang haram yang tidak diketahui tuannya, cukup sekadar memaklumkan beberapa secara ringkas:-

1. Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq r.a pernah bertaruh (di awal Islam) dengan seorang Musyrik (yang mencabar ketepatan Al-Quran dari surah Ar-Rum ayat pertama dan kedua yang mengisyaratkan kejatuhan Rom) iaitu kerajaan Rom akan tewas. Kemudian apabila Rom benar-benar jatuh, Sayyidina Abu Bakar dikira sebagai pemenang dan telah memperolehi harta pertaruhan itu (ianya haram kerana judi dan tujuan Abu Bakar hanyalah untuk membuktikan kebenaran al-Quran). Apabila Sayyidina Abu Bakar datang kepada Rasulullah s.a.w menceritakan perihal harta perolehan pertaruhan itu, Rasulullah bersabda :

هذا سحت فتصدق به

Ertinya : Ini kotor, sedeqahkan ia. (At-Tirmizi . 16/22 ; At-Tirmizi : Sohih)

Selepas peristiwa ini, barulah turun perintah pengharaman judi secara sepenuhnya sekalipun dengan orang kafir. (Tafsir At-Tabari, 20/16) Kisah ini dengan jelas menunjukkan Nabi tidak mengarahkannya dikembalikan kepada si Kafir, tetapi disedeqahkan untuk tujuan umum dan kebaikan ramai.

2. Selain itu, hujjah utama para ulama dalam hal mendermakan wang haram seperti wang rasuah yang dibawakan oleh Ibn Lutaibah, Nabi meletakkan wang ini di baitul mal dan diagihkan kemudiannya kepada faqir miskin dan kepentingan awam.[4]

3. Terdapat juga athar dari Ibn Mas’ud yang diriwayatkan oleh Al-Bayhaqi 6/188 dan banyak lagi.

KESIMPULAN

  • Warga emas, faqir dan miskin di pulau pinang dan mana-mana negeri dan Negara lain, DIHARUSKAN untuk menerima sumbangan dari mana-mana kerajaan negeri, syarikat dan individu selagi mana harta mereka (pemberi sumbangan) itu bercampur antara wang halal dan haram. atau dalam kata lainnya, harta mereka masih ada yang neutral dan halal.
  • Sekiranya mereka ingin memulangkan semula wang tersebut, itu juga harus hukumnya. Kerajaan negeri boleh selepas itu memberikan sumbangan dari poket kanan mereka dan wang dipulang itu masuk poket kiri kerajaan. Ia akan jadi sama sebenarnya.
  • Sebaiknya penyumbang tidak kira kerajaan, syarikat dan sepertinya; tidak mendedahkan sumber pemerolahan harta yang disumbang agar tidak mengelirukan penerima sebagaimana kes yang berlaku ini
  • Mereka juga HARUS untuk menerima wang sumbangan dari penyumbang tadi, walaupun jelas ia adalah dari hasil yang haram seperti judi lumba kuda rasuah, riba dan sebagainya. Tiada kotor pada wang yang diterima oleh mereka, kerana mereka adalah penerima yang diiktiraf oleh syara’. Manakala dosa hasil dari pemerolehan wang itu hanya ditanggung oleh pelaku dosa dan ia tidak merebak kepada penerima dari kalangan faqir miskin dan yang memerlukan.
  • Jika dilihat dari sudut hukum dan agama, warga yang menerima sumbangan terbabit TIDAK PERLU SAMA SEKALI memulangkan semula wang yang diterima.
  • Namun jika dilihat dari strategi politik pihak tertentu, tindakan tersebut di luar fokus artikel ini.

Sekian

Zaharuddin Abd Rahman

www.zaharuddin.net

30 Sept 2010